Hancur! Satu kosa kata yang kini dialami Mardani H Maming setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus izin usaha pertambang (IUP), meski hukum di negeri ini menganut azas praduga tak bersalah atau presumption of innocence.
Pengertian azas hukum ini, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Kewajiban ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 Ayat 1 UU No: 48/ 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum UU No: 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Karena itu dengan anggapan tidak bersalah ini, hak-hak yang bersangkutan harus dihormati. Hak asasi manusia orang tersebut harus tetap dilindungi dengan proses hukum yang adil.
Namun itu semua hanya sebatas di atas kertas. Datang setelah dinyatakan DPO, Mardani diberangus haknya sebagai manusia untuk dilindungi dengan proses hukum yang adil.
Dipakaikan rompi khas dengan tangan diborgol, Mardani jadi tonton jutaan pasang mata melalui layar kaca dari Sabang sampai Merauke. Padahal bukan karena tertangkap tangan seperti yang selama ini dilakukan KPK dengan pamer dokumen dan barang bukti gepokan duit.
Akibat perlakuan yang jauh dari azas praduga tak bersalah ini, orang muda yang juga ketua pimpinan partai di daerah, karir politiknya hancur! Sebagai pengusaha muda satu-satunya asal Pulau Kalimantan, khususnya Kalsel, hingga menduduki jabatan mentereng sebagai Ketua Umum BPP HIMPI, kini pun bak diujung tanduk!
Begitupun jabatannya sebagai Bendahara Umum PBNU, copot seiring dengan dinonaktifkannya oleh salah satu ormas Islam terbesar tersebut di nusantara
Mantan Bupati Tanah Bumbu itu memang telah resmi ditahan KPK. Tak tanggung-tanggung, Mardani diduga menerima suap senilai Rp 104,3 miliar dari Hendry Sutiyo selaku pengendali PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) sejak 2014 hingga 2020. Uniknya lagi, KPK pada Jumat (29/7) menyebut, Hendry selaku penyuap telah meninggal dunia.
Tentunya menjadi pertanyaan besar. Bagaimana mungkin dapat disimpulkan ada kasus suap kalau yang memberi suapnya saja sudah meninggal dunia? Nah kalau dikemudian hari proses dipersidangan tidak dapat membuktikan soal suap menyuap itu, begitu sederhanakah merehabilitasi reputasi dan nama baik orang yang sudah menjadi bubur?
Padahal jauh sebelum gonjang ganjing di lembaga antirasuah ini, Mardani sudah diseret-seret dalam kasus IUP dengan terdakwa Dwiyono Putrohadi, mantan Kadis ESDM Tanah Bumbu, di Pengadilan Tipikor Banjarmasin.
Namun semua tudingan terbantahkan setelah terdakwa Dwiyono dengan tegas menyebutkan tidak ada aliran dana yang diterima mantan Bupati Tanah Bumbu tersebut.
Mencuatnya dana lain diluar materi perkara terdakwa Dwiyono ini, berawal dari saksi meringankan Christian Sutiyo, Direktur PT PCNm yang dihadirkan penasehat hukum Dwidoyo. Christian Sutiyo sendiri merupakan adik kandung almarhum Hendry Sutiyo.
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Jumat (13/5), Christian bersaksi adanya aliran dana sebesar Rp 89 miliar kepada Mardani melalui PT Permata Abadi Raya (PAR) dan PT Trans Surya Perkasa (TSP).
Namun kesaksian ini terbantahkan, karena dalam pokok perkara dengan Dwiyono sebagai terdakwa, memang tidak pernah ada disebutkan Rp 89 miliar.
Tak mempan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, soal dana Rp 89 miliar justru mencuat di lembaga antirasuah, hingga Mardani didengar keterangannya oleh KPK, Kamis (2/6).
Soal kesaksian Direktur PT PCN, Christian itu sendiri selain urutan kejadiannya tidak logis, yang bersangkuan pun baru masuk di manajemen PT PCN pada 2021, setelah Henry Sutiyo menjandang status almarhum.
Hubungan bisnis?
Sengkarut berbau bisnis ini, berawal dari dua perusahaan milik Batulicin Enam Sembilan (B69) Group, PT PAR dan PT TSP, beberapa tahun lalu menjalin kerja sama dengan PT PCN dalam mengelola pelabuhan batubara PT Angsana Terminal Utama (ATU).
Dari dokumen yang ada, Mardani H Maming memang belum menjadi pemilik perusahaan. Sebab 2009 hingga 2018, Mardani tidak terlibat dalam perusahaan karena sedang menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu.
Adapun PT ATU, dahulunya merupakan anak perusahaan dari B69 Group. Namun kemudian dimiliki secara penuh oleh PT PCN.
Kronologis hubungan bisnis antara PT ATU, PT PAR, PT TSP dan PT PCN terjadi pada 21 Februari 2011. PT ATU didirikan dengan pemegang saham Rois Sunandar Maming sebesar 80 prsen dan M Bahruddin 20 persen.
Saat itu, PT ATU sudah mempunyai ijin pelabuhan sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No: KP.940 Tahun 2011. PT ATU sendiri sepenuhnya milik B69 Group.
Lalu pada tanggal 2 April 2012, datanglah PT PCN sebagai investor menawarkan kerja sama dengan PT ATU untuk membangun fasilitas crusher dan counveyor.
PT ATU sepakat. PT PCN mendapatkan saham PT ATU sebesar 70 persen dengan susunan kepemilikan saham berubah menjadi M Bahrudin 30 persen, sedang PT PCN 70 persen. Susunan direksinya, Hendry Sutiyo sebagai direktur dan M Bahruddin sebagai komisaris.
Selanjutnya pada 28 Februari 2014, terjadi pernyataan di luar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa di PT ATU. Sehingga kemudian PT ATU sebagai pemegang saham 30 persen berubah menjadi PT TSP dengan Direktur M Aliansyah dan komisaris M Bahruddin.
Pada 20 Agustus 2014 atas inisiatif Hendry Sutiyo selaku Direktur PT ATU pada saat itu, menawarkan perubahan pembagian hasil atau deviden. 30 peren PT TSP dipersamakan dengan Fee Rp. 10.000/Mt batubara, dengan maksud untuk mempermudah hasil penghitungan. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam perjanjian antara PT TSP dan PT ATU.
Selanjutnya 31 Desember 2015 dan 1 Januari 2016 atas keinginan Hendry Sutiyo selaku Direktur PT PCN yang memiliki 70 persen saham, ingin menguasai 100 persen saham PT ATU agar dapat melakukan pinjaman bank.
Hendri Sutiyo menawarkan perubahan saham. 30 persen milik PT TSP menjadi Fee Rp.10.000/Mt yang diserahkan kepada PT PAR yang merupakan bagian dari perusahaan B69 Group.
Pada 25 Agustus 2016, akhirnya terjadi perubahan nama pelabuhan milik PT ATU menjadi pelabuhan PT PCN yang tercantum dalam Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Laut. BX-285/PP 008.
Dalam pertimbangan SK Dirjen Perhubungan Laut itu, di poin B disebutkan, terminal untuk kepentingan sendiri yang akan dikelola PT PCN –sebelumnya milik PT ATU– mendapatkan persetujuan pengelolaan berdasarkan Keputusan Menhub No. KP.940 tanggal 28 November 2011.
Dana ke PT PAR dari PT PCN inilah yang disebut Christian dalam persidangan mengalir ke Mardani H Maming. Padahal karena utang kepada PT PAR inilah hingga PT PCN yang dalam kesulitan keuangan hingga berproses hukum atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Di tengah masih berprosesnya perkara PKPU di PN Jakarta Pusat dengan Perkara No: 412/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst, ada investor yang ingin mengambil alih kepemilikan asset, termasuk dengan PT PCN-nya. (ybrachma/foto: dok)