Alkisah ribuan tahun silam, pulau burung merupakan gugusan gusung yang dangkal dan keras. Bebatuan karang sebagian besar terendam air laut membuat gusung ini tidak begitu menonjol dipermukaan air laut. Tak ada tumbuhan dan kehidupan di atas gusung ini. Hanya sesekali burung elang hinggap di atasnya untuk mengincar mangsa yang berada di bawah gelombang pasang.
Konon di hutan belantara yang terletak di seberang pulau burung, tinggalah sekumpulan ular sawa besar yang sudah tua, sehingga tidak bisa lagi bergerak. Kabarnya ular-ular tersebut sudah tidak bisa mencari makan sendiri. Ia hanya menunggu mangsa yang lewat saja. Setiap hari ular-ular itu berdoa kepada Tuhan meminta turun hujan supaya mereka bisa hanyut terbawa hingga ke laut. Mereka berpikir hidup di laut membuatnya tidak bersusah payah lagi mencari mangsa. Beraneka macam ikan bisa mereka santap dengan mudah setiap saat.
Hingga saatnya telah tiba. Terjadi hujan lebat disertai badai yang sangat menakutkan. Ular-ular sawa justru kegirangan. Mereka bersyukur doa-doa dikabulkan. Selama tiga hari tiga malam berturut-turut hujan tak kunjung reda. Tanah di hulu banyak yang longsor. Pepohonan bergoyang hebat. Terdengar suara gemuruh dari atas. Suara menggelegar pepohonan yang tumbang saling tindih menggelinding terbawa arus banjir ke arah hilir. Sepasang ular sawa tak menyianyaiakan kesempatan yang sudah lama ditunggu-tunggu. Tubuhnya mengikuti kemana arah pohon yang terseret arus banjir bandang hingga ke muara sungai batulicin.
Tak hanya sampah yang berasal dari pepohonan yang tumbang karena longsor, di atas reruntuhan pepohonan itu juga menghanyutkan beberapa satwa yang ada di hutan itu termasuk kera dan pilanduk. Air laut berubah menjadi keruh kecoklatan. Arus banjir bandang tak kunjung surut hingga membawa sebagian besar pepohonan hanyut hingga jarak yang sangat jauh. Sepasang ular sawa yang semula berjejer sebelahan kini terpisah mengikuti arus yang membawanya ke utara dan ke selatan. Mereka saling mencari kemana teman-temannya telah bersandar. Tinggalah seekor ular sawa jantan yang masih berada di atas kapul. Tubuhnya terus melilit erat pohon kapul yang masih menyisakan beberapa tangkai buah mengkal. Akhirnya pohon itu tersangkut di atas gusung yang berada di sebelah selatan.
Beberapa hari semenjak banjir bandang yang membawanya ke atas gusung hidup ular sawa sangat tersiksa. Ia tidak mendapatkan mangsanya sedikitpun. Ia tidak bisa bergerak. Tubuhnya terhimpit disela-sela batu karang yang tajam. Ia merasa kesakitan. Ditambah Rasa lapar dan haus yang memuncak di saat matahari membakar kulitnya tanpa halangan sedikitpun. Hidup di lautan ternyata tak seindah yang di bayangkan. Ular sawa betina itu akhirnya mati.
Bangkai ular sawa menjadi daya Tarik sekawanan burung laut yang sering hinggap di atas gusung itu. Setiap hari makin banyak sekawanan burung yang singgah di atas bangkai ular sawa yang memanjang di atas gusung itu. Hingga akhirnya gusung yang semula keras dan tandus menjadi subur karena kotoran burung yang menumpuk. Kesuburan gusung itu akhirnya menumbuhkan biji-bijian pepohonan yang sudah mengering bekas banjir bandang yang beberapa waktu lalu terdampar. Hari terus bergulir hingga membuat gusung itu berubah menjadi sebuah perbukitan yang sangat rindang dan subur. Akhirnya pulau itu menjadi habitat puluhan jenis burung yang hidup dengan damai. Itulah sebabnya pulau ini dikenal sebagai pulau burung atau pulau Panjang layaknya ular sawa dengan kepala dan ekor yang memanjang.
***
Penelusuran tim Folklore Explore Tanah Bumbu menjumpai narasumber Hj Harmawati dan Bapak Saidina. Mereka mengisahkan, Pulau Burung dihuni pertama kali oleh para pelaut dari Sulawesi (suku Bugis). Mereka tinggal menetap di pulau itu karena tertarik pasokan air bersih yang melimpah dan kondisi alam yang sangat strategis. Orang yang menghuni pertama kali pulau burung bernama Cide. Dia juga menjabat sebagai kepala kampung sejak awal berdirinya desa pulau burung sekitar tahun 1935 yang kemudian dilanjutkan oleh Ambo Dalle pada tahun 1945-1955, oleh Hasan 1955-1965, dan pada tahun 1965-1975 dijabat oleh H Duhani.
Salah satu yang menarik di pulau ini adanya SDN Tunas Nelayan yang didirikan oleh seorang tokoh perempuan berpengaruh di Pulau Burung. taklain adalah bernama Hj Harmawati. Dia merupakan keturunan dari kepala kampung yang ketiga, yakni Hasan. Pada masanya, ia seorang diri menjadi guru dan mengajar warga desa agar tidak buta huruf. Tidak tanggung-tanggung, demi mendukung pendidikan di desanya, ia menyumbangkan lahan untuk dibangun gedung sekolah, meskipun hanya dengan ruang kelas yang sederhana. Dedikasi dan perjuangannya menjadikan Pulau Burung bukan hanya tempat tinggal warga, melainkan juga contoh perubahan bagi generasi muda. Hal inilah yang akhirnya dia mendapatkan penghargaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai seribu perempuan berpengaruh di dunia (Women of The years) untuk nobel perdamaian di Jakarta. Sebagai tokoh inspiratif dia banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak baik dari pemerintah maupun media penyiaran beberapa stasiun televisi di Indonesia.
Pulau burung menjadi salah satu pulau yang memiliki banyak legenda yang diyakini masyarakat setempat. Seperti halnya asal usul pulau ini yang dikisahkan dari terdamparnya ular sawa di atas gusung yang kemudian dikerumuni sekawanan burung yang memakan bangkai ular tersebut, pulau ini sampai sekarang memiliki berbagai jenis burung. Menurut data yang kami himpun dari narasumber terdapat lima puluh tiga (53) spesies burung yang hidup di pulau ini. Selain itu menurut kisah yang dituturkan narasumber Hj. Harmawati pernah melihat ular keramat yang diyakini masih mendiami pulau ini. Ular tersebut berwarna kuning dengan kepala berjengger. Kisah terdamparnya ular sawa ini masih berhubungan dengan Pulau Suwangi. Sepasang ular yang terpisah karena larut dari sungai Batulicin. Ular jantan terdampar di Suwangi dan ular betina berada di Pulau Burung.
Kisah ini pun diikuti dengan legenda lainnya yang masih hidup di Pulau Burung. Legenda keramat Batu Limana (magnit) yang berwarna hitam misalnya, yang dikait-kaitkan warga sekitar sebagai gerbang menuju alam lain (gaib). Awalnya batu ini berukuran kecil namun seiring berjalannya waktu, batu ini seakan tumbuh berukuran semakin besar sehingga disebut sebagai batu beranak. Banyak kejadian mistis yang terjadi di lokasi ini misalnya saat penduduk tersesat atau kehilangan sesuatu dan dilakukan pencarian berhari-hari. Mereka akan ditemukan tergeletak di atas batu ini. Juga Ketika penduduk mempunyai nazar atau janji yang tidak menempati atau lupa menunaikan nazarnya, meraka akan pergi ke tempat ini untuk melakukan tradisi selamatan dengan menggunakan ketan (lakatan) hitam. Sayangnya, rombongan kami tidak bisa berkunjung ke situ karena akses jalan menuju lokasi tidak memungkinkan.
Legenda lainnya yang dijadikan tradisi tahunan warga adalah situs makam yang berada di bawah pohon beringin besar. Situs ini keramat karena ada cerita tentang pohon beringin yang bisa berdiri kembali setelah roboh. Di dalam pohon ini terdapat tiang kayu ulin yang masih berdiri kokoh. Tiang ini diyakini merupakan kediaman Datu Lemang yang dimakamkan tepat di bawah pohon beringin bersama dua makam lainnya. Konon pohon ini dihuni oleh kera dan sekawanan burung.
Selain beberapa kisah menarik yang kami liput dari narasumber. Pulau burung juga mempunyai tradisi kampung yang mereka berikan nama sebagai ‘Mappanre Kampoeng’, sebuah acara tolak bala yang digelar setiap tahun. Salah satu menu yang wajib ada dalam acara tersebut adalah ayam panggang atau ayam bakar yang dilengkapi beberapa menu lainnya. Selamat kampung ini sebagai bentuk rasa syukur dengan hasil laut sebagai mata pencaharian masyarakat pulau burung. Ritus adat yang dilaksanakan selama bertahun-tahun ini merupakan kearifan lokal warga desa dalam menjaga hubungan mereka dengan alam dan penciptanya.
Di pulau burung juga sebagai penghasil kain sasirangan khas pesisir pulau burung dengan menggunakan pewarna alami yang diekstrak dari daun mangrove. Motif kain sasirangan yang mereka hasilkan merupakan penggambaran masyarakat nelayan dan aset yang dimiiki di pulau itu. Corak tersebut misalnya gambar kapal, ikan, mangrove dan gradasi perbukitan. Pewarnaan yang otentik dari bahan alam yang mereka dapatkan dari kekayaan pulau itu menambah eksotisme dan nilai tradisi yang sangat menawan. Hamparan pohon mangrove yang luas tak hanya sebagai pencegah abrasi tetapi menjadi aset wisata dan produk budaya. (tim folklore tanbu/foto: bang zack)