Negeri ini kembali merayakan hari kemerdekaanya, meski di tengah pandemi virus corona. Berusia 76 tahun sejak Selasa 17 Agustus 2021. Seperti biasa, perayaan akan gegap gempita dengan beragam acara. Sehingga mengingatkan kembali pada keberanian serta ketulusan para pejuang kemerdekaan.
Berani dan tulus, dua kosa kata itulah yang jadi modal untuk membebaskan bangsa dari cengkraman penjajahan Belanda. Bahkan dengan modal itu pula, bangsa ini sejak 17 Agustus 1945 benar-benar bebas dari penindasan yang sudah berlangsung sekitar 3,5 abad.
Pejuang 45 telah berhasil membangun kemandirian bangsa, sehingga mengatmosfer dalam wujud kegembiraan tak terkira hingga sekarang ini. Jadi tidaklah heran jika umbul-umbul, gapura gang, pekarangan rumah dan halaman kantor, berhias warna Merah-Putih.
Namun di tengah kegembiraan tak terkira setiap tahun itu, kita seolah lupa kalau roda bangsa ini tertatih mewujudkan Mukadimah UUD 45. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketidakmampuan menangkap intisari peringatan hari kemerdekaan untuk menciptakan dan membangun kemandirian bangsa, roda bangsa pun tak akan menggelinding dengan semestinya. Padahal bangsa ini sudah merdeka sejak 76 tahun lalu. Namun nihil dari semangat juang. Akibatnya, negara-bangsa belum dapat bertransformasi ke arah lebih baik.
Lantas bagaimana seharusnya arah kegiatan perayaan hari kemerdekaan agar lebih bermakna? Semangat agustusan semestinya diinternalisasi dan dijabarkan pada dunia riil masyarakat, untuk menyibakkan tabir krisis di tubuh NKRI.
Prosesi agustusan adalah satu perangkat yang tepat dan akurat untuk membenahi mentalitas tidak kreatif, tidak inovatif dan tidak mandirinya anak bangsa. Sebab ketika bangsa dipenuhi orang seperti itu, jangan harap kemajuan akan menghampiri.
Bahkan ketika generasi muda bangsa ini tidak dapat menangkap semangat juang perayaan 17 Agustus, yakinlah ke depan nasib bangsa tidak bakal beranjak lebih baik.
Oleh karena itu program kerja organisasi kepemudaan di NKRI mesti fokus memoles generasi muda dengan keteguhan dan ketulusan hati. Sehingga dapat mentransformasi pemuda menjadi para pemegang kebijakan yang jujur dan berani menyuarakan aspirasi rakyat di masa mendatang.
Tidak arif rasanya kalau pemuda hanya bisa meneruskan estafet pejajahan generasi tua dengan meminjam utang kembali, ketika memegang kendali di lembaga eksekutif kelak. Kalau bukan di pundak pemuda tampuk kepemimpinan masa depan terletak, lantas di pundak siapa lagi? Dengan demikian, pribadi pemuda juga semestinya menggambarkan sosok kesatria berkesadaran tinggi, hingga piawai menghadapi neokolonialisme bangsa luar.
Dengan inilah perayaan hari kemerdekaan mestinya jadi momen tepat untuk membangun kemandirian, keteguhan jiwa dan ketulusan hati demi terciptanya kemerdekaan bangsa.
Bukankah kemandirian, keteguhan jiwa dan ketulusan hati para pejuang kemerdekaan adalah modal pertama untuk melawan penjajahan dan penindasan bangsa luar?
Karena itu, model perjuangan sekarang ini pun tidak hanya dengan adu fisik. Melainkan memperjuangkan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya rakyat, hingga dapat diraih kembali. Pertanyaannya, bisakah para pemuda menangkap semangat juang 45 di 17 Agustus kali ini? Wallahu A’lam. (yebe/ilust: gog)