KOALISI, istilah yang kini tengah ramai dilakukan parpol menjelang perhelatan estapet kepemimpinan nasional 2024. Padahal dari sekarang, masih setahun tiga bulan lagi.
Gigihnya parpol mencari kerja sama, untuk mengamankan tiket pilpres. Sekaligus tentunya untuk memenuhi syahwat berkuasa. Meski alasan yang mengemuka untuk perbaikan bangsa dan negara.
Sebagaimana aturan tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu, pihak yang bisa mengajukan capres cawapres di 2024, yaitu partai atau gabungan partai yang memiliki paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR 2019.
Sejauh ini baru dua pihak yang sudah menggenggam tiket penuh untuk mengusung capres dan capresnya sendiri, salah satunya PDIP. Karena memiliki 22,26 persen kursi DPR. Sementara delapan partai lainnya, harus membentuk koalisi demi bisa mengusung capres cawapresnya.
Begitupun kerja sama yang sudah terbentuk, sejauh ini hanya Golkar, PAN dan PPP dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)-nya. Golkar memiliki 14,78 persen kursi DPR, PAN 7,65 persen dan PPP 3,3 persen, totalya jadi 25,73 persen. Dengan demikian, KIB juga sudah menggenggam tiket untuk mengusung capres cawapres di Pilpres 2024.
Sisa lima partai lain yang memiliki kursi di DPR, Gerindra 13,75 persen, NasDem 10,26 persen, PKB 10,09 persen, Demokrat 9,39 persen dan PKS 8,7 persen. Kelimanya belum ada yang membentuk ikatan kerja sama.
Namun belakangan, pertemuan intens digelar PKB ke Gerindra. Jika sepakat berkoalisi, gabungan kedua partai ini juga sudah cukup untuk menghasilkan satu tiket ke Pilpres 2024.
Tersisa 3 partai, yaitu NasDem, Demokrat dan PKS. Jika . PKS dan Demokrat yang dalam dua hari belakangan berturut-turut berkunjung ke kantor NasDem, sepakat berkoalisi, maka juga akan menghasilkan satu tiket pilpres.
Jika skenario ini terjadi, maka akan ada 4 poros dalam Pilpres 2024. Poros pertama, yakni PDIP, poros kedua KIB, poros ketiga Gerindra-PKB, dan poros keempat NasDem-Demokrat-PKS.
Namun pertanyaannya kemudian, apakah rakyat tertarik untuk mengikutinya? Padahal banyaknya yang tidak menggunakan hak pilih pada pemilu legislatif lalu, kemungkinan antara lain akibat sudah jenuh dengan terlalu sering dilaksanakan pemilu, terutama pemilihan kepala daerah. Kondisi yang disadari atai tidak kalangan yang haus akan syahwat berkuasa.
Terlebih selama ini, politisi dimana-mana sama saja. Berjanji membangun jembatan, bahkan meski tidak ada sungai sekalipun. Berbicara mewakili rakyat, padahal mereka hanya mewakili kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Inilah yang kemudian membuat titik jenuh. Politisi hanya datang pada waktu butuh, seperti pengemis!. Namun setelah selesai, tinggallah rakyat sampai berkeringat dingin mencari untuk makan hari esok. Bukan makan apa besok.
Ya, seperti saat ini. Para politisi sibuk membangun koalisi, lalu rakyat ini mau dibawa kemana. Apakah hanya akan menjadi penonton semata. Padahal suara rakyatlah yang sangat menentukan.
Karena itu sebelum melakukan koalisi, cobalah tanya rakyat. Apakah keinginan mereka. Ataukah benar mereka menginginkan koalisi itu ataukah hanya kepentingan petinggi partai untuk memuaskan syahwat berkuasa.
Bukan malah ujug-ujug datang untuk berkoalisi dan kemudian bermanuver. Kalau kemudian titik jenuh sudah parah, maka yang terjadi rakyat bosan dan semakin tidak peduli dengan keadaan.
Kalau sudah begini, mau dibawa kemana negara ini. Karena itu, dibutuhkan sikap kenegarawanan sejati. Sebab, suara rakyatlah sebenarnya yang sangat menentukan kemana bangsa ini akan dibawa. Sadarlah! (ybrachma)